Senin, 14 Januari 2013

Barat lebih Brutal dari Dunia Islam

Barat lebih Brutal dari Dunia Islam Mari Kita Hidup Damai dan Saling Menghargai satu sama lain

HAMPIR tiap hari kita mendengar analisis, ungkapan, kesimpulan, persepsi-persepsi dari ilmuwan, cendekiawan dan politikus Barat tentang Islam. Dari kacamata Barat, diingkari atau tidak, citra Islam terasosiasi tidak baik. Jarang, ada seseorang yang mampu menggambarkan dialektika dunia Barat dan dunia Islam, tanpa terjebak di lubang prasangka, curiga, sinisme, atau kebencian. Inilah stigma terhadap Islam.

Subhanallah. Tidak seperti yang lain, seorang politikus dari partai CDU (Kristen-Demokrat) yang pernah 18 tahun duduk di parlemen Jerman, Jürgen Todenhöfer, tiba-tiba telah membaca al-Quran. Juga tidak seperti yang lain, ia telah menghabiskan bertahun-tahun hidupnya pada banyak perjalanan di dunia islam: Iraq, Iran, Libya, Sudan sampai Afghanistan.

Setelah membaca, mengamati dan berpikir, Todenhöfer akhirnya menulis. Hasilnya sebuah buku berjudul, “Feindbild Islam – Zehn Thesen gegen Hass” (Potret Buruk Islam - Sepuluh Tesis Anti Kebencian"), yang terbit di akhir tahun 2011.

"Barat Lebih  Brutal“ dari Dunia Islam",Katanya



Todenhöfer, dalam tesis pertama, mengingatkan fakta sejarah yang sering terlupa di dua abad terakhir. Menurutnya, Barat justru jauh lebih brutal daripada dunia Muslim. Jutaan warga sipil Arab tewas sejak kolonialisme dimulai. Atas nama kolonialisasi, Prancis pernah membunuh lebih dari dua juta penduduk sipil di Aljazair, dalam kurun waktu 130 tahun. Atas nama kolonialisasi, Italia pernah menggunakan phosphor dan gas mustard untuk menghabisi penduduk sipil di Libya. Atas nama kolonialisasi, Spanyol juga pernah menggunakan senajata kimia di Marokko.

Tidak berbeda di era setelah perang dunia kedua. Dalam invansi perang Teluk kedua, semenjak tahun 2003, UNICEF menyebutkan, 1,5 juta penduduk sipil Iraq terbunuh. Sepertiganya anak-anak. Tidak 

sedikit dari korban terkontaminasi amunisi uranium. Di Baghdad,  
 hampir setiap  rumah kehilangan satu anggota keluarganya.
Sebaliknya, di dua abad terakhir, tidak satu pun negara Islam menyerang, mengintervensi, mengkolonialisasi Barat.


Perbandingan jumlah korban mati (dunia Islam: dunia Barat) adalah 10:1. Problema besar dunia, di dua abad belakangan ini, bukan kebrutalan Islam, tapi kebrutalan beberapa negara-negara Barat.

Promosikan Anti-Terorisme, Malah Melahirkan Terorisme:

Terorisme jelas tidak dibenarkan. Menilik secara objektif, terorisme justru lahir dari politik anti-terorisme Barat yang keliru. "Seorang pemuda Muslim," tulis Todenhöfer, "yang secara rutin memantau berita di televisi, hari demi hari, tahun demi tahun, akan situasi di Iraq, Afghanistan, Pakistan, Palestina dan di tempat lain, di mana perempuan, anak-anak dan penduduk sipil, dihabisi oleh Barat dengan brutal, justru diprovokasi untuk menjadi seorang teroris."

Beruntung saja, sebagian besar pemuda Islam tidak terpancing. Mereka memilih jalan yang berbeda. Di Tunisia, Mesir, Libya, Maroko, dan negara-negara Muslim lainnya, mereka menjawab ketidak-adilan yang menimpa mereka melalui jalan demokrasi dan teriakan kebebasan, bukan teror dan kekerasan.

Terorisme Fenomena Dunia, Bukan Fenomena Islam

Ada pemeo favorit di setiap diskursi bertemakan terorisme. “Tidak setiap Muslim teroris, tapi seluruh teroris adalah Muslim.” Selain jauh dari benar, dengan data dan fakta, propaganda ini mudah dipatahkan.

Data resmi Badan Kepolisian Eropa, Europol, menyebutkan: Dari 249 aksi teror di tahun 2010, hanya tiga yang pelakunya berlatar belakang Islam. Bukan 200, bukan 100 – tapi tiga! Data di tahun-tahun sebelumnya, juga tidak kalah mengejutkan: Dari 294 aksi terror di tahun 2009, hanya satu yang berlatar belakang Islam. Hanya satu dari 515 aksi teror di tahun 2008. Hanya empat dari 583 di tahun 2007.

Di hadapan hukum internasional, dunia Barat selalu mentematisir, dan merekam dengan baik, 3500 korban terorisme yang pernah jatuh atas nama “teror-Islam“ semenjak pertengahan 1990-an (termasuk korban WTC, pada 11/9). Tapi mengapa ratusan-ribu warga sipil yang terbunuh dalam intervensi di Iraq tidak pernah ditematisir?

Lebih jauh, Todenhöfer bertanya kritis: “Mengapa elite Barat, tidak pernah sekalipun menimbang; membawa George W. Bush dan Tony Blair ke hadapan mahkamah internasional, atas serangan sepihaknya ke Iraq? Apakah hukum internasional hanya berlaku untuk orang-orang non-Barat?“

Perang, bukan jawaban untuk aksi-aksi terorisme. Perang, hanya manis untuk mereka yang tidak mengenalnya. Teroris yang membunuh orang-orang tidak berdosa, bukanlah pejuang kebebasan, bukan pahlawan, bukan pula syuhada. Mereka mengkhianati agama mereka. Mereka adalah pembunuh.

Bukan Muslim, yang atas nama kolonialisasi membunuh 50 juta nyawa di seantero Afrika dan Asia. Bukan Muslim, yang atas nama perang dunia pertama dan kedua menghabiskan 70 juta nyawa. Bukan pula Muslim, yang menggencarkan genosida terhadap 6 juta orang-orang Yahudi.

Permasalahan besar dalam perdebatan al-Quran di Barat, adalah setiap orang bernafsu membicarakannya, sangat-sangat sedikit yang pernah membacanya.

Sebagian besar mereka tidak lagi rasional dan ilmiah. Hanya mengutip beberapa tekstual yang mengesankan Islam pro “perang” tanpa pernah mau tahu konteksnya. Padahal pesan-pesan al-Quran yang dikesankan seperti itu, spesifik diterima Muhammad, dalam konteks perlawanan antara penduduk Makkah dan Madinah, waktu itu.

Seperti Musa dan Isa, Muhammad tidak dilahirkan pada situasi dunia yang sedang vakum, apalagi damai. Mereka hadir pada saat moralitas dunia bobrok, penuh perang, perjuangan dan perlawanan. Adalah sangat lumrah beberapa tekstual yang terkesan pro “perang” itu bisa ditemukan di al-Quran, semudah bisa ditemukan di kitab Perjanjian Lama dan kitab Perjanjian Baru. 

Secara semantis, diksi “Islam-teroris”, “Kristen-teroris” atau “Yahudi-teroris” adalah sebuah penyesatan bahasa. Terorisme, menurut Todenhöfer, berdiri di atas instrumen setan, tidak boleh dikaitkan dengan kesucian Tuhan dan keagamaan.
Memang benar, di dalam Islam, Kristen, atau Yahudi ada ideologi yang bersinggungan dengan kekerasan- tapi bukan ajaran agamanya.

Fakta atau fake?

Kalimat andalan kritikus anti-Islam di Barat adalah ”Siapa yang menginginkan panggilan adzan terdengar di kota-kota kami, harus membiarkan juga lonceng gereja berbunyi di kota-kota mereka!" 

Padahal nyatanya: Di Teheran, semisal, berdiri banyak gereja. Loncengnya berbunyi tidak jarang, dan tidak pelan. Lebih jauh, anak-anak Kristen memiliki pelajaran agamanya sendiri (sesuatu yang luxus untuk anak-anak Muslim di Barat).

Barat megidentifikasi jilbab sebagai simbol pengekangan dan ketertindasan. Dari survey resmi di Barat, wanita-wanita  pemakai jilbab, yang begitu dipedulikan Barat itu, justru berkata lain (memakainya atas kesadaran pribadi). Sinisme jilbab, sebagian besar justru datang dari mereka yang tidak berjilbab dan anti-jilbab. Memaksa seseorang berjilbab, jelas menyalahi hak asasi. Tidak jauh berbeda, dari prosesi pemaksaan untuk melepasnya.

Barat menuduh perempuan-perempuan Islam tidak berpendidikan. Fakta dari dunia Islam menjawab lain. Secara statistis, perempuan di negara-negara mayoritas Islam, justru lebih berpendidikan dibanding Barat: 30% Profesor di Mesir perempuan, padahal di Jerman jumlahnya hanya sekitar 20%.

Lebih dari 60% mahasiswa di Iran adalah perempuan. Di Uni Emirat Arab, sudah semenjak tahun 2007, mahasiswa perempuan menginjak angka yang sulit dipercaya: 77%.

Seorang Muslim = Seorang Yahudi = Seorang Kristen

Tidak ada seorang bayi pun terlahir sebagai seorang “teroris”. Barat harus memperlakukan seorang Muslim, persis seperti seperti mereka memperlakukan seorang Kristen atau Yahudi.

Tidak jarang kita dengar politikus dan aktivis Barat, demonstratif, mengumbar kalimat penuh kebencian terhadap Islam. Frank Graham, penasehat George W. Bush, menyebut Islam sebagai “agama iblis dan sihir”. Politikus kanan Belanda, Geert Wilders, menyebut Islam sebagai “agama fasis”. Thilo Sarrazin, politikus Jerman memberikan thesis: “secara genetis, anak-anak dari keluarga Islam, dilahirkan di bawah tingkat kecerdasan rata-rata.”

Bayangkan sejenak, jika Frank Graham, Greet Wilders, dan Thilo Sarrazin mengganti objek tesis-nya bukan kepada "Islam", tetapi menjadi "Yahudi" atau “Kristen”. Tidakkah ucapan seperti itu akan menjadi badai kemarahan yang dahsyat? Mengapa Barat boleh mengatakan hal-hal penuh fasistik dan rassist terhadap Islam, yang justru di kalangan orang-orang Kristen dan Yahudi sesuatu yang tabu? Barat harus mengakhiri demonisasi Islam dan Muslim.

Muslim Melawan Teror

Di tesis kesembilan, Todenhöfer mengajak umat Islam, melalui sebuah reformasi sosial, menjejak Nabi Muhammad yang berjuang untuk sebuah Islam yang beradab dan toleran. Untuk tatanan ekonomi dan politik yang dinamis, bukan statis – sambil mempertahankan identitas keagamaannya. Untuk persamaan yang penuh, pria dan wanita. Untuk kebebasan beragama yang nyata.

Tidak seperti politikus umumnya, Muhammad, bukan seorang reaksioner. Dia adalah seorang revolusioner, berani berpikir dan berani mematahkan belenggu tradisi. Islam di masa Muhammad bukanlah agama stagnan, apalagi regresif, tetapi pembaruan dan perubahan. Muhammad berjuang untuk perubahan sosial, ia pahlawan orang miskin dan orang lemah. Dia mengangkat hak-hak kaum perempuan, yang di periode sebelumnya nyaris tidak ada.

Muhammad bukan seorang fanatik atau seorang ekstrimis. Dia hanya ingin membawa orang-orang Arab, yang kala itu terjebak pada belenggu politeistik, untuk kembali ke sumber aslinya yang murni, agama Ibrahim, persis seperti yang disuarakan Musa dan Isa.

Terorisme, yang berada di sekelumit dunia Islam pada hari ini adalah distorsi ajaran Muhammad. Dunia Islam tidak boleh membiarkan citra baik Islam, yang dibangun Muhammad 14 abad yang lalu, dihancurkan seketika oleh ideologi kriminal ini. Dunia Islam perlu memerangi ideologi terorisme ini, persis seperti Muhammad memerangi berhala-berhala dari periode pra-Islam.

Politik Bukan Perang

Kalimat bijak pernah mengajarkan: "ketika kamu tidak bisa menaklukan musuhmu, peluk dia!."

Masalah kompleks di Timur tengah, hanya bisa diselesaikan dengan jalur politik, bukan dengan perang. Barat harus membuka pintu diskusi yang lebih lebar untuk dunia Islam. Barat harus membuka ruang bilateral dan unilateral lebih besar untuk negara-negara Arab. Kesatuan dan stabilitas yang perah terjadi di Uni Eropa, nyatanya, tidak berdiri di atas invansi senjata, tapi di atas politik diplomatisasi yang penuh visi.

Barat dan Dunia Islam perlu menjalin kesamaan visi: sebuah dunia, yang setiap negara di dalamnya dihargai. Sebuah penghargaan, yang tanpa diskriminasi. Politik anti-diskriminasi, yang dibangun di atas keadilan dan kebebasan, bukan perang, apalagi penindasan.*/Sultan Haidar Shamlan

Resensi buku

Judul: “Feindbild Islam – Zehn Thesen gegen Hass” (Potret Buruk Islam - Sepuluh Tesis Anti Kebencian"),.
Penulis: Jürgen Todenhöfer
Tahun: 2011

http://www.hidayatullah.com/read/20597/10/01/2012/barat-dan-islam:--dibutuhkan-penghargaan-tanpa-diskriminasi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih atas Komentarnya sering-sering kunjung ke blog BingkyCat ini :)

Populer Post